الاثنين، 25 نوفمبر 2013

ULAS KASUS TENTANG KEJAHATAN KORPORASI EKONOMI



Tugas               : Cari jurnal “Hubungan Etika Bisnis dengan Kejahatan Korporasi”
Judul Jurnal      : Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup  Kejahatan Bisnis
Sumber            : Elfina Lebrine S. Fakultas Hukum, Laboratorium Hukum Pidana, Universitas Surabaya   Jl.Raya Kalirungkut, Surabaya E-mail: els@ubaya.ac.id

 ULAS KASUS TENTANG KEJAHATAN KORPORASI EKONOMI


Pendahuluan

Perkembangan korporasi pada permulaan jaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya makin kompleks. Inggris sejak abad XIV sudah menjadi pusat perdagangan wool dan tekstil yang diekspor ke daratan Eropa. Kemajuan ini juga ditandai dengan didirikannya beberapa usaha dagang bangsa Turki. Pembentukan beberapa usaha dagang / perusahaan ini merupakan embrio korporasi pada jaman sekarang. Pertumbuhan korporasi di tanah air semakin meningkat dalam berbagai usaha. Berbagai produk dan jasa dihasilkan dalam jumlah besar, begitu pula ribuan dan bahkan jutaan orang terlibat dalam kegiatan korporasi. Dengan memasarkan produknya, maka korporasi sekaligus mempengaruhi dan ikut menentukan pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa, sebab dalam kenyataannya bukan produsen yang harus menyesuaikan permintaan konsumen, akan tetapi justru sebaliknya konsumen yang akan menyesuaikan kebutuhannya dengan produk-produk yang dihasilkan oleh korporasi.
Perkembangan yang pesat dari korporasi dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan masyarakat, yakni perkembangan masyarakat agraris ke masyarakat industri dan perdagangan (internasional) pada dasawarsa terakhir ini. Ciri masyarakat industri adalah dengan munculnya korporasi sebagai pelaku ekonomi atau subyek hukum. Korporasi dalam perkembangannya dapat memperoleh hak (dan kewajiban) yang dimiliki oleh manusia, seperti dapat membuat sebuah kontrak, dapat menuntut dan dituntut, namun korporasi tetap berbeda dengan subyek hukum manusia yakni pada sifatnya yang tidak memiliki jangka waktu hidup, dalam arti dia bisa hidup selamalamanya. Indonesia saat ini dilanda kriminalitas kontemporer yang mengancam lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan Bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat iklan besar-besaran dan berbagai pola kejahatan korporasi lainnya. Seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan teknologi informasi dalam era milenium ini, telah mendorong munculnya beberapa jenis dan istilah kejahatan yang sebetulnya secara substansial bukan “barang baru”, namun ‘”barang lama” yang telah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kejahatan yang lebih modern dan lebih canggih. Modus operandi yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut dahulu tidak dikenal dan tidak pernah dipikirkan oleh para pelaku kejahatan, namun saat ini menjadi suatu ‘trend’ modus kejahatan. Hal ini ditegaskan pula oleh Sutan Remy Sjahdeini yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa perkembangan kejahatan tampak pada penggunaan istilah-istilah baru misalnya: istilah corporate crime, business crime, economic crime yakni kejahatan ekonomi atau kejahatan terhadap ekonomi (crime against economy), istilah financial abuse yang memiliki pengertian sangat luas termasuk bukan saja aktivitas ilegal yang mungkin merugikan sistem keuangan (financial system), tetapi juga aktivitas-aktivitas lain yang bertujuan menghindari kewajiban pembayaran pajak (tax evasion), atau istilah financial crime yang merupakan subset dari financial abuse yang dalam pengertian sempit dapat diartikan sebagai non-violent crime yang pada umumnya dapat menyebabkan kerugian keuangan (financial loss) yang menggunakan atau melalui lembaga keuangan.
(Romli Atmasasmita, 2003:1-3).

White Collar Crime
Kejahatan korporasi hampir pasti dilakukan oleh pelaku yang tingkat pendidikannya tinggi (welleducated) dan memiliki status ekonomi di level menengah ke atas (high social status), dengan kata lain pelaku kejahatan korporasi biasanya berasal dari kalangan orang yang berada dan bekerja pada bidangnya (Skill and Experts). Albert Morris mengetengahkan suatu anggapan yang cukup berpengaruh yakni: “Because of the respectability and high social status of White Collar offenders, some scholars have suggested that much individuals are not really criminals at all. They claim that it is
paradoxcial that the leaders of community could also be its criminal. Hal ini lebih ditegaskan oleh E.H.Sutherland dalam bukunya White Collar Crime: The Uncut Version yang mengemukakan bahwa: White Collar Crime may be defined approximately as a crime commited by a person of respectability and high social status in the course of his occupation. (Sutherland, 1983:15-17). Oleh sebab itu, kejahatan korporasi terjadi karena canggihnya peralatan yang digunakan serta keahlian yang dimiliki oleh pelaku dalam melakukan aksi kejahatannya, sehingga
kejahatan semacam ini sering disebut Multi Dimention Crimes (Kejahatan Berdimensi Baru). C.F.Welford dan B.L.Ingraham mengklasifikasikan
White Collar Crime menjadi 3 kelompok, yakni: (1). Business and Professional Crimes; (2). Occupational crimes; (3). Individual Fraud. (Welford, 1994).
Adapun Croall menyatakan ada 8 (delapan) karakteristik dari White Collar Crime, yakni: 1). Low visibility; 2). Complexity; 3). Diffusion of responsibility; 4). The diffusion of victimization; 5). Difficult to detect and to prosecute; 6). Lenient sanctions; 7). Ambiguous laws; 8). Ambiguous criminal status. (Croall, 1992:12-16). Secara khusus butir 4 menggambarkan perbedaan antara korban kejahatan konvensional yang mudah untuk diidentifikasikan, dibandingkan dengan korban
kejahatan korporasi yang seringkali bersifat abstrak seperti pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya banyak namun sulit untuk dideteksi.
Terkait dengan hal tersebut, menarik untuk disimak pendapat Clinard dan Yeager yang menyatakan bahwa: ”Victims of corporate crimes…, are often unaware that they have been taken. Examples are stakeholders who receive a falsified balance sheet,
consumers who have paid an inflated price for a product as a result of antitrust collusion, or consumers who have accepted with confidence the misleading advertising claims made for a product without knowledge of its financial or health effects on them. (Clinard and Yeager, 1980:7).
Atau dalam bahasa indonesianya adalah, Korban kejahatan korporasi ..., seringkali tidak menyadari bahwa mereka telah diambil. Contohnya adalah pihak yang menerima neraca palsu, konsumen yang telah membayar harga yang mahal untuk sebuah produk sebagai hasil dari kolusi antitrust, atau konsumen yang telah menerima dengan keyakinan klaim iklan yang menyesatkan yang dibuat untuk produk tanpa pengetahuan tentang dampak keuangan atau kesehatan pada mereka. (Clinard and Yeager, 1980:7)
Kasus yang melibatkan Melinda Dee (47) membuka tabir kejahatan kerah putih (white collar crime) dalam dunia perbankan. Model kejahatan kerah putih ini merupakan evolusi tindak kejahatan dalam dunia moderen.

Dalam sejarahnya di negara-negara maju, kejahatan ini disebut sebagai business crime atau economic criminality. Hal ini karena pelaku kejahatan ini banyak melibatkan para pengusaha, pegawai perbankan, lembaga keuangan dan para pejabat. Pada awalnya kejahatan kerah putih banyak terjadi dalam birokrasi pemerintahan.

Modusnya adalah dengan memanfaatkan kerumitan dan ketertutupan birokrasi. Kerumitan itulah yang menjadi lahan subur untuk dimanipulasi menjadi tindak kejahatan seperti korupsi dan suap.

Kasus Melinda Dee merupakan modus kejahatan kerah putih yang semakin canggih lagi. Tindakan tersebut dilakukan dalam jaringan teknologi mutakhir. Dengan penerapan sistem komputerisasi, dunia perbankan menjadi lahan subur bagi praktik kejahatan seperti ini. Kejahatan model ini merupakan gejala masyarakat industri.

Penggunaan teknologi dalam masyarakat industri selain semakin efesien, juga memberi efek negatif terutama dengan semakin efesiennya kejahatannya juga. Pada masyarakat yang ter-computerized, pencurian dapat dilakukan hanya dengan memijit tombol-tombol keyboard komputer yang terkoneksi pada jaringan internet. Maka dalam jaringan sistem perbankan, seorang Melinda dapat dengan aman mengalihkan miliaran uang nasabah pada rekeningnya sendiri.
Kejahatan Bisnis
Pengertian istilah “kejahatan bisnis” dirumuskan oleh John.E.Conklin sebagai: “Business crime is an
illegal act, punishable by a criminal sanction, which is committed by an individual or a corporation in the course of a legitimate occupation or persuit in the  industrial or commercial sector for the purpose of obtaining money or property, avoiding the payment of money or the loss of property or personal advantage”. (Conklin,1977:11-13). Perumusan “kejahatan bisnis” di atas menunjukkan salah satu pola kejahatan non konvensional yang dewasa ini sangat menonjol karena menjadi problem hampir di semua negara, terlebih negara yang sedang membangun yang sangat bergantung pada perkembangan dan pertumbuhan ekonominya serta berhubungan erat dalam lintas niaga transnasional. Di samping itu, pengertian “kejahatan bisnis” mengandung pula makna filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara filosofis, kejahatan bisnis mengandung makna bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat manakala suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga sangat merugikan kepentingan masyarakat luas. Perubahan nilai tersebut menggambarkan bahwa kalangan pebisnis sudah kurang atau tidak menghargai lagi kejujuran (honesty) dalam kegiatan bisnis nasional dan internasional demi untuk mencapai tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Secara singkat dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kegiatan bisnis sudah tidak dapat ditemukan ketertiban dan kepastian hukum dan karenanya tidak mungkin menemukan keadilan bagi
para pelaku bisnis yang beritikad baik. Konsekuensi logis dari keadaan dan masalah hukum tersebut ialah diperlukan perangkat hukum lain yaitu hukum pidana untuk membantu menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta untuk menemukan keadilan bagi para pelaku bisnis yang beritikad baik dan telah dirugikan. Adapun secara yuridis, pengertian istilah “kejahatan bisnis” menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) sisi mata uang yaitu di satu sisi terdapat aspek hukum perdata, dan di sisi lain terdapat aspek hukum pidana. Kedua aspek hukum tersebut memiliki dua tujuan yang berbeda secara diametral dan memiliki sifat atau karakteristik yang bertentangan satu sama lain. Aspek hukum perdata lebih mementingkan perdamaian di antara para pihak, sedangkan aspek hukum pidana lebih mementingkan melindungi kepentingan umum, masyarakat luas bahkan negara. Secara sosiologis, pengertian “kejahatan bisnis” menunjukkan keadaan yang nyata terjadi dalam aktivitas di dunia bisnis. Namun di sisi lain menunjukkan pula bahwa kegiatan bisnis sudah tidak ada lagi ‘keramahan’ (unfriendly business atmosphere) atau seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat dipercaya di antara pelaku bisnis.kegiatan bisnis seharusnya berjalan secara sehat sekalipun bersaing secara kompetitif. Secara substansial, menurut Robintan Sulaiman, kejahatan bisnis mengandung anasir, yakni:
1.      Sifatnya korporasi artinya dilakukan secara berkelompok yang masing-masing berperan dengan keahlian masing-masing membentuk sinergi dan aliansi strategis yang menjadi suatu kekuatan yang mandiri dan sangat sulit diterobos oleh tangan hukum. Kejahatan bisnis juga merupakan kejahatan terorganisasi (organized crimes).
2.      Kejahatan bisnis dalam melakukan kejahatan menggunakan instrumen atau peralatan canggih seperti komputer, satelit dan lain-lain sehingga dapat terjadi setiap saat, kapan saja dan dimana saja.
3.      Kejahatan bisnis Multi Dimensi ini berdampak pada tidak saja para orang atau badan hukum  yang dirugikan tetapi juga merugikan masyarakat bahkan negara. Masih menurut Robintan Sulaiman, faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan bisnis meliputi 3 (tiga) hal, yakni: 1). Kejahatan bisnis memang sudah dirancang saat bisnis tersebut dibuat, dan itu berarti ada kebutuhan (need) untuk itu; 2). Kejahatan bisnis ini timbul karena adanya perkembangan bisnis yang cepat berkembang dan menimbulkan kesempatan (opportunity) bagi pelaku. Jadi pada saat bisnis ini atau dimulai tidak ada rencana untukmelakukan kegiatan bisnis; 3). Kejahatan bisnis yang dilakukan oleh orang-orang di luar pelaku bisnis yang menguasai teknologi dan dapat memanfaatkan teknologi untuk melakukan kejahatan. Ketiga hal ini semuanya bermotif ekonomi/komersial (profit oriented) serta desakan kebutuhan untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat adalah motif yang utama dalam kejahatan bisnis. (Robintan Sulaiman, 2001:8-12). Motif inipun dimiliki oleh korporasi yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan agar invest yang telah ditanamkan tidak mengalami kerugian (hal ini dikenal dalam “Anomie Theory”).

KESIMPULAN

Dari hasil analisa didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1.      Sektor korporasi yang mampu berperan positif bagi pembangunan nasional adalah sektor korporasi yang merupakan aset nasional dan bukan korporasi yang hanya menjadi beban dan parasit masyarakat. Kelompok sektor korporasi ini adalah kelompok yang patuh etika bisnis, misalnya patuh pada tata kelola korporasi yang baik, taat pada aturan main persaingan bisnis yang sehat, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, peran positif terhadap pembangunan nasional ini menunjuk pada korporasi yang mampu mempraktekkan prinsip etika bisnis dan juga prinsip good corporate governance dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
2.      Perusahaan yang ingin mencatat sukses dalam bisnis membutuhkan 3 (tiga) hal pokok, yakni:  produk yang baik dan bermutu, manajemen yang mulus dan etika. Produk yang baik serta manajemen yang mulus merupakan hal yang dapat dicapai dengan memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern, serta memakai ilmu ekonomi dan teori manajemen, sedangkan perhatian terhadap etika dalam bebrbisnis masih sangat minim atau dapat dikatakan tidak mendapatkan perhatian yang serius.
3.      Pembaharuan hukum dapat menciptakan insentif atau dorongan bagi publik untuk ikut memperhatikan perilaku korporasi. Dalam hal ini, masyarakat sebagai stakeholder dari korporasi dapat pula menjadi sarana pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi.
4.      Bagi para pelaku White Collar Crime, penghukuman atau penuntutan secara pidana dan penahanan dapat menimbulkan suatu celaan atau kutukan sosial. Hilangnya reputasi mungkin lebih penting bagi para pelaku daripada hilang uang karena dijatuhi denda besar, oleh sebab itu publisitas luas yang memuat nama-nama individu yang dihukum karena kejahatan bisnis dapat merupakan penjeraan yang efektif bagi perilaku seperti itu di masa mendatang.
5.      Berbagai undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dalam rangka melakukan kegiatan bisnis di Indonesia, saat ini hanya mengatur mengenai aspek hubungan perdata antara pihak yang melakukan transaksi di sektor bisnis yang diatur dengan undang-undang dan tidak memuat ketentuanketentuan pidana di dalamnya. Banyak kewajiban yang dibebankan oleh ketentuan undang-undang tertentu ternyata tidak bersanksi (pidana) apabila kewajiban-kewajiban tersebut dilanggar. Dengan demikian, tujuan yang dicapai dengan adanya pembentukan undang-undang yang bersangkutan menjadi tidak efektif.
6.      Ada kecenderungan pemidanaan terhadap orporasi lebih banyak menggunakan asas “Subsidiaritas”, yakni hukum pidana ditempatkan pada posisi sebagai “Ultimum Remedium”. Namun sebagai upaya Deterrence Effect, untuk pemidanaan terhadap korporasi, dimungkinkan mendudukkan hukum pidana sebagai “Primum Remedium”, karena kejahatan korporasi dapat merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi dan membahayakan kelangsungan hidup suatu bangsa.

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق