الاثنين، 25 نوفمبر 2013

perusahaan yang telah menerapkan etika utilitarisme dan sepak terjangnya



ETIKA UTILITARISME DALAM BISNIS

Dikembangkan pertama kali oleh Jeremi Bentham (1748 – 1832). Adalah tentang bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijaksanaan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Utilitarianisme : asal dari kata Utilitas (U), yang berarti useful, yang berguna, yang berfaedah adalah, paham ini menilai baik atau tidaknya susila atau sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan faedah yang didatangkan.
Utilitarianisme (utilisme) sebagai suatu ilmu/paham pada garis besarnya dibagi atas dua jenis: utilisme individual, suatu paham yang menganggap bahwa seorang itu boleh bersikap sesuai dengan situasi yang menguntungkan dirinya. Jadi boleh berpura-pura hormat, bersikap menjilat asalkan perbuatan itu membawa keuntungan (guns) bagi individu. Jenis kedua utilisme social, pada prinsipnya hampir sama dengan utilitisme individu, bedanya karena yang dihadapi adalah umum, orang banyak. Demi untuk kepentingan orang banyak, tidak apa berdusta sedikit, tidak apa bersikap hormat, tidak apa bermulut manis dan sebagainya.
Kalau egoisme menilai baik atau burukaya. suatu tindakan berdasarkan baik atau buruknya tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi diri sendiri, maka utilitarianisme menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang.

Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme
  1. Manfaat , bahwa kebijakan atau tindakan tertentu dapat mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu.
  2. Manfaat terbesar, sama halnya seperti diatas, mendatangkan manfaat yang lebih besar dalam situasi yang lebih besar. Tujuannya meminimisasikan kerugian sekecil mungkin.
  3. Pertanyaan mengenai manfaat, manfaatnya untuk siapa ? Saya, dia, mereka, atau kita.
Kriteria yang sekaligus menjadi pegangan objektif etika utilitarianisme adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dengan kata lain, kebijakan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut Utilitarianisme adalah kebijakan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau tindakan yang memberika kerugian bagi sekecil orang / kelompok tertentu.
  1. Atas dasar ketiga Kriteria tersebut, etika Utilitarianisme memiliki tiga pegangan yaitu :
    1.Tindakan yang baik dan tepat secara moral
2.Tindakan yang bermanfaat besar
3.Manfaat yang paling besar untuk paling banyak orang.
                                                      


Nilai Positif Etika Utilitarianisme
a.Rasionlitasnya.
Prinsip moral yang diajukan oleh etika ultilitarinisme tidak didasarakan pada aturan – aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami.
b. Universalitas.
Mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang yang melakukan tindakan itu.
Dasar pemikirannya adalah bahwa kepentingan orang sama bobotnya. Artinya yang baik bagi saya, yang baik juga bagi orang lain.
Will Kymlicka, menegaskan bahwa etika ultilitarinisme mempunyai 2 daya tarik yaitu :
a. Etika ultilitarinisme sejalan dengan instuisi moral semua manusia bahwa kesejahterahan manusi adalah yang paling pokok bagi etika dan moralitas
B. Etika ultilitarinisme sejalan dengan instuisi kita bahwa semua kaidah moral dan tujuan tindakan manusia harus dipertimbangkan, dinilai dn diuji berdsarkan akibatnya bagi kesejahterahan manusia.

Etika Ultilitarinisme sebagai Proses dan Standar Penilaian
Etika ultilitarinisme juga dipakai sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijakan yang telah dilakukan. Keriteria – keriteria di atas dipakai sebagai penilai untuk mengetahui apakah tindakan atau kebijakan itu baik atau tidk untuk dijalankan. Yang paling pokok adalah tindakan atau kebijakan yng telah terjadi berdasarkan akibat dan konsekuensinya yaitu sejauh mana ia menghasilkan hasil terbaik bagi banyak orang.
Sebagai penilaian atas tindakan atau kebijakasanaan yang sudah terjadi, criteria etika ultilitarinisme dapat juga sekligus berfungsi sebagai sasaran atau tujuan ketika kebijaksanaan atau program tertentu yng telah dijalankan itu akan direvisi.

Analisis keuntungan dan kerugian
Etika ultilitarinisme sangat cocok dipakai untuk membuat perencanaan dan evaluasi bagi tindakan atau kebijakan yang berkaitan dengan orang banyak. Dipakai secara sadar atau tidaak sadar dalam bidang ekonomi, social, politik yang menyangkut kepentinagan orang banyak.


Kelemahan Etika Ultilitarinisme
  • Manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam praktiknya malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena manfaat manusia berbeda yang 1 dengan yanag lainnya.
  • Persoalan klasik yang lebih filosofis adalah bahwa etika ultilitarinisme tidak pernaah menganggap serius suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai dari suatu tindakan sejauh kaitan dengan akibatnya. Padahal, sangat mungkin terjadi suatu tindaakan pada dasarnya tidak baik, tetapi ternyata mendatangkan keuntungan atau manfaat.
  • Etika ultilitarinisme tidak pernah menganggap serius kemauan atau motivasi baik seseorang
  • Variable yang dinilai tidaak semuanya bisa dikuantifikasi. Karena itu sulit mengukur dan membandingkan keuntungan dan kerugian hanya berdasarkan variable yang ada.
  • Kesulitan dalam menentukan prioritas mana yang paling diutamakan.
  • Bahwa etika ultilitarinisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingn mayoritas. Yang artinya etika ultilitarinisme membenarkan penindasan dan ketidakadilan demi manfaat yang lebih bagi sekelompok orang.
PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia. Kami memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
PT Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional (MNC),yaitu perusahaan internasional atau transnasional yang berkantor pusat di satu negara tetapi kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang..

Contoh kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia :
• Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
• Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.

Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis berkelas dunia, apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari aset perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan. Sebab, di situlah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege berlebihan, ternyata sia-sia.

Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukan Indonesia.

Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri dan tidak mengalami pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh pihak imigrasi.

Kasus PT. Freeport Indonesia ditinjau dari berbagai teori etika bisnis :
• Teori etika utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Berdasarkan teori utilitarianisme, PT.Freeport Indonesia dalam hal ini sangat bertentangan karena keuntungan yang di dapat tidak digunakan untuk mensejahterakan masyarakat sekitar, melainkan untuk Negara Amerika.
• Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku.
Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama.
Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
Dalam kasus ini, PT Freeport Indonesia sangat tidak etis dimana kewajiban terhadap para karyawan tidak terpenuhi karena gaji yang diterima tidak layak dibandingkan dengan pekerja Freeport di Negara lain. Padahal PT Freeport Indonesia merupakan tambang emas dengan kualitas emas terbaik di dunia.


ULAS KASUS TENTANG KEJAHATAN KORPORASI EKONOMI



Tugas               : Cari jurnal “Hubungan Etika Bisnis dengan Kejahatan Korporasi”
Judul Jurnal      : Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup  Kejahatan Bisnis
Sumber            : Elfina Lebrine S. Fakultas Hukum, Laboratorium Hukum Pidana, Universitas Surabaya   Jl.Raya Kalirungkut, Surabaya E-mail: els@ubaya.ac.id

 ULAS KASUS TENTANG KEJAHATAN KORPORASI EKONOMI


Pendahuluan

Perkembangan korporasi pada permulaan jaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya makin kompleks. Inggris sejak abad XIV sudah menjadi pusat perdagangan wool dan tekstil yang diekspor ke daratan Eropa. Kemajuan ini juga ditandai dengan didirikannya beberapa usaha dagang bangsa Turki. Pembentukan beberapa usaha dagang / perusahaan ini merupakan embrio korporasi pada jaman sekarang. Pertumbuhan korporasi di tanah air semakin meningkat dalam berbagai usaha. Berbagai produk dan jasa dihasilkan dalam jumlah besar, begitu pula ribuan dan bahkan jutaan orang terlibat dalam kegiatan korporasi. Dengan memasarkan produknya, maka korporasi sekaligus mempengaruhi dan ikut menentukan pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa, sebab dalam kenyataannya bukan produsen yang harus menyesuaikan permintaan konsumen, akan tetapi justru sebaliknya konsumen yang akan menyesuaikan kebutuhannya dengan produk-produk yang dihasilkan oleh korporasi.
Perkembangan yang pesat dari korporasi dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan masyarakat, yakni perkembangan masyarakat agraris ke masyarakat industri dan perdagangan (internasional) pada dasawarsa terakhir ini. Ciri masyarakat industri adalah dengan munculnya korporasi sebagai pelaku ekonomi atau subyek hukum. Korporasi dalam perkembangannya dapat memperoleh hak (dan kewajiban) yang dimiliki oleh manusia, seperti dapat membuat sebuah kontrak, dapat menuntut dan dituntut, namun korporasi tetap berbeda dengan subyek hukum manusia yakni pada sifatnya yang tidak memiliki jangka waktu hidup, dalam arti dia bisa hidup selamalamanya. Indonesia saat ini dilanda kriminalitas kontemporer yang mengancam lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan Bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat iklan besar-besaran dan berbagai pola kejahatan korporasi lainnya. Seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan teknologi informasi dalam era milenium ini, telah mendorong munculnya beberapa jenis dan istilah kejahatan yang sebetulnya secara substansial bukan “barang baru”, namun ‘”barang lama” yang telah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kejahatan yang lebih modern dan lebih canggih. Modus operandi yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut dahulu tidak dikenal dan tidak pernah dipikirkan oleh para pelaku kejahatan, namun saat ini menjadi suatu ‘trend’ modus kejahatan. Hal ini ditegaskan pula oleh Sutan Remy Sjahdeini yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa perkembangan kejahatan tampak pada penggunaan istilah-istilah baru misalnya: istilah corporate crime, business crime, economic crime yakni kejahatan ekonomi atau kejahatan terhadap ekonomi (crime against economy), istilah financial abuse yang memiliki pengertian sangat luas termasuk bukan saja aktivitas ilegal yang mungkin merugikan sistem keuangan (financial system), tetapi juga aktivitas-aktivitas lain yang bertujuan menghindari kewajiban pembayaran pajak (tax evasion), atau istilah financial crime yang merupakan subset dari financial abuse yang dalam pengertian sempit dapat diartikan sebagai non-violent crime yang pada umumnya dapat menyebabkan kerugian keuangan (financial loss) yang menggunakan atau melalui lembaga keuangan.
(Romli Atmasasmita, 2003:1-3).

White Collar Crime
Kejahatan korporasi hampir pasti dilakukan oleh pelaku yang tingkat pendidikannya tinggi (welleducated) dan memiliki status ekonomi di level menengah ke atas (high social status), dengan kata lain pelaku kejahatan korporasi biasanya berasal dari kalangan orang yang berada dan bekerja pada bidangnya (Skill and Experts). Albert Morris mengetengahkan suatu anggapan yang cukup berpengaruh yakni: “Because of the respectability and high social status of White Collar offenders, some scholars have suggested that much individuals are not really criminals at all. They claim that it is
paradoxcial that the leaders of community could also be its criminal. Hal ini lebih ditegaskan oleh E.H.Sutherland dalam bukunya White Collar Crime: The Uncut Version yang mengemukakan bahwa: White Collar Crime may be defined approximately as a crime commited by a person of respectability and high social status in the course of his occupation. (Sutherland, 1983:15-17). Oleh sebab itu, kejahatan korporasi terjadi karena canggihnya peralatan yang digunakan serta keahlian yang dimiliki oleh pelaku dalam melakukan aksi kejahatannya, sehingga
kejahatan semacam ini sering disebut Multi Dimention Crimes (Kejahatan Berdimensi Baru). C.F.Welford dan B.L.Ingraham mengklasifikasikan
White Collar Crime menjadi 3 kelompok, yakni: (1). Business and Professional Crimes; (2). Occupational crimes; (3). Individual Fraud. (Welford, 1994).
Adapun Croall menyatakan ada 8 (delapan) karakteristik dari White Collar Crime, yakni: 1). Low visibility; 2). Complexity; 3). Diffusion of responsibility; 4). The diffusion of victimization; 5). Difficult to detect and to prosecute; 6). Lenient sanctions; 7). Ambiguous laws; 8). Ambiguous criminal status. (Croall, 1992:12-16). Secara khusus butir 4 menggambarkan perbedaan antara korban kejahatan konvensional yang mudah untuk diidentifikasikan, dibandingkan dengan korban
kejahatan korporasi yang seringkali bersifat abstrak seperti pemerintah, perusahaan lain atau konsumen yang jumlahnya banyak namun sulit untuk dideteksi.
Terkait dengan hal tersebut, menarik untuk disimak pendapat Clinard dan Yeager yang menyatakan bahwa: ”Victims of corporate crimes…, are often unaware that they have been taken. Examples are stakeholders who receive a falsified balance sheet,
consumers who have paid an inflated price for a product as a result of antitrust collusion, or consumers who have accepted with confidence the misleading advertising claims made for a product without knowledge of its financial or health effects on them. (Clinard and Yeager, 1980:7).
Atau dalam bahasa indonesianya adalah, Korban kejahatan korporasi ..., seringkali tidak menyadari bahwa mereka telah diambil. Contohnya adalah pihak yang menerima neraca palsu, konsumen yang telah membayar harga yang mahal untuk sebuah produk sebagai hasil dari kolusi antitrust, atau konsumen yang telah menerima dengan keyakinan klaim iklan yang menyesatkan yang dibuat untuk produk tanpa pengetahuan tentang dampak keuangan atau kesehatan pada mereka. (Clinard and Yeager, 1980:7)
Kasus yang melibatkan Melinda Dee (47) membuka tabir kejahatan kerah putih (white collar crime) dalam dunia perbankan. Model kejahatan kerah putih ini merupakan evolusi tindak kejahatan dalam dunia moderen.

Dalam sejarahnya di negara-negara maju, kejahatan ini disebut sebagai business crime atau economic criminality. Hal ini karena pelaku kejahatan ini banyak melibatkan para pengusaha, pegawai perbankan, lembaga keuangan dan para pejabat. Pada awalnya kejahatan kerah putih banyak terjadi dalam birokrasi pemerintahan.

Modusnya adalah dengan memanfaatkan kerumitan dan ketertutupan birokrasi. Kerumitan itulah yang menjadi lahan subur untuk dimanipulasi menjadi tindak kejahatan seperti korupsi dan suap.

Kasus Melinda Dee merupakan modus kejahatan kerah putih yang semakin canggih lagi. Tindakan tersebut dilakukan dalam jaringan teknologi mutakhir. Dengan penerapan sistem komputerisasi, dunia perbankan menjadi lahan subur bagi praktik kejahatan seperti ini. Kejahatan model ini merupakan gejala masyarakat industri.

Penggunaan teknologi dalam masyarakat industri selain semakin efesien, juga memberi efek negatif terutama dengan semakin efesiennya kejahatannya juga. Pada masyarakat yang ter-computerized, pencurian dapat dilakukan hanya dengan memijit tombol-tombol keyboard komputer yang terkoneksi pada jaringan internet. Maka dalam jaringan sistem perbankan, seorang Melinda dapat dengan aman mengalihkan miliaran uang nasabah pada rekeningnya sendiri.
Kejahatan Bisnis
Pengertian istilah “kejahatan bisnis” dirumuskan oleh John.E.Conklin sebagai: “Business crime is an
illegal act, punishable by a criminal sanction, which is committed by an individual or a corporation in the course of a legitimate occupation or persuit in the  industrial or commercial sector for the purpose of obtaining money or property, avoiding the payment of money or the loss of property or personal advantage”. (Conklin,1977:11-13). Perumusan “kejahatan bisnis” di atas menunjukkan salah satu pola kejahatan non konvensional yang dewasa ini sangat menonjol karena menjadi problem hampir di semua negara, terlebih negara yang sedang membangun yang sangat bergantung pada perkembangan dan pertumbuhan ekonominya serta berhubungan erat dalam lintas niaga transnasional. Di samping itu, pengertian “kejahatan bisnis” mengandung pula makna filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara filosofis, kejahatan bisnis mengandung makna bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat manakala suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga sangat merugikan kepentingan masyarakat luas. Perubahan nilai tersebut menggambarkan bahwa kalangan pebisnis sudah kurang atau tidak menghargai lagi kejujuran (honesty) dalam kegiatan bisnis nasional dan internasional demi untuk mencapai tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Secara singkat dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kegiatan bisnis sudah tidak dapat ditemukan ketertiban dan kepastian hukum dan karenanya tidak mungkin menemukan keadilan bagi
para pelaku bisnis yang beritikad baik. Konsekuensi logis dari keadaan dan masalah hukum tersebut ialah diperlukan perangkat hukum lain yaitu hukum pidana untuk membantu menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta untuk menemukan keadilan bagi para pelaku bisnis yang beritikad baik dan telah dirugikan. Adapun secara yuridis, pengertian istilah “kejahatan bisnis” menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) sisi mata uang yaitu di satu sisi terdapat aspek hukum perdata, dan di sisi lain terdapat aspek hukum pidana. Kedua aspek hukum tersebut memiliki dua tujuan yang berbeda secara diametral dan memiliki sifat atau karakteristik yang bertentangan satu sama lain. Aspek hukum perdata lebih mementingkan perdamaian di antara para pihak, sedangkan aspek hukum pidana lebih mementingkan melindungi kepentingan umum, masyarakat luas bahkan negara. Secara sosiologis, pengertian “kejahatan bisnis” menunjukkan keadaan yang nyata terjadi dalam aktivitas di dunia bisnis. Namun di sisi lain menunjukkan pula bahwa kegiatan bisnis sudah tidak ada lagi ‘keramahan’ (unfriendly business atmosphere) atau seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat dipercaya di antara pelaku bisnis.kegiatan bisnis seharusnya berjalan secara sehat sekalipun bersaing secara kompetitif. Secara substansial, menurut Robintan Sulaiman, kejahatan bisnis mengandung anasir, yakni:
1.      Sifatnya korporasi artinya dilakukan secara berkelompok yang masing-masing berperan dengan keahlian masing-masing membentuk sinergi dan aliansi strategis yang menjadi suatu kekuatan yang mandiri dan sangat sulit diterobos oleh tangan hukum. Kejahatan bisnis juga merupakan kejahatan terorganisasi (organized crimes).
2.      Kejahatan bisnis dalam melakukan kejahatan menggunakan instrumen atau peralatan canggih seperti komputer, satelit dan lain-lain sehingga dapat terjadi setiap saat, kapan saja dan dimana saja.
3.      Kejahatan bisnis Multi Dimensi ini berdampak pada tidak saja para orang atau badan hukum  yang dirugikan tetapi juga merugikan masyarakat bahkan negara. Masih menurut Robintan Sulaiman, faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan bisnis meliputi 3 (tiga) hal, yakni: 1). Kejahatan bisnis memang sudah dirancang saat bisnis tersebut dibuat, dan itu berarti ada kebutuhan (need) untuk itu; 2). Kejahatan bisnis ini timbul karena adanya perkembangan bisnis yang cepat berkembang dan menimbulkan kesempatan (opportunity) bagi pelaku. Jadi pada saat bisnis ini atau dimulai tidak ada rencana untukmelakukan kegiatan bisnis; 3). Kejahatan bisnis yang dilakukan oleh orang-orang di luar pelaku bisnis yang menguasai teknologi dan dapat memanfaatkan teknologi untuk melakukan kejahatan. Ketiga hal ini semuanya bermotif ekonomi/komersial (profit oriented) serta desakan kebutuhan untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat adalah motif yang utama dalam kejahatan bisnis. (Robintan Sulaiman, 2001:8-12). Motif inipun dimiliki oleh korporasi yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan agar invest yang telah ditanamkan tidak mengalami kerugian (hal ini dikenal dalam “Anomie Theory”).

KESIMPULAN

Dari hasil analisa didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1.      Sektor korporasi yang mampu berperan positif bagi pembangunan nasional adalah sektor korporasi yang merupakan aset nasional dan bukan korporasi yang hanya menjadi beban dan parasit masyarakat. Kelompok sektor korporasi ini adalah kelompok yang patuh etika bisnis, misalnya patuh pada tata kelola korporasi yang baik, taat pada aturan main persaingan bisnis yang sehat, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, peran positif terhadap pembangunan nasional ini menunjuk pada korporasi yang mampu mempraktekkan prinsip etika bisnis dan juga prinsip good corporate governance dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
2.      Perusahaan yang ingin mencatat sukses dalam bisnis membutuhkan 3 (tiga) hal pokok, yakni:  produk yang baik dan bermutu, manajemen yang mulus dan etika. Produk yang baik serta manajemen yang mulus merupakan hal yang dapat dicapai dengan memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern, serta memakai ilmu ekonomi dan teori manajemen, sedangkan perhatian terhadap etika dalam bebrbisnis masih sangat minim atau dapat dikatakan tidak mendapatkan perhatian yang serius.
3.      Pembaharuan hukum dapat menciptakan insentif atau dorongan bagi publik untuk ikut memperhatikan perilaku korporasi. Dalam hal ini, masyarakat sebagai stakeholder dari korporasi dapat pula menjadi sarana pengawasan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi.
4.      Bagi para pelaku White Collar Crime, penghukuman atau penuntutan secara pidana dan penahanan dapat menimbulkan suatu celaan atau kutukan sosial. Hilangnya reputasi mungkin lebih penting bagi para pelaku daripada hilang uang karena dijatuhi denda besar, oleh sebab itu publisitas luas yang memuat nama-nama individu yang dihukum karena kejahatan bisnis dapat merupakan penjeraan yang efektif bagi perilaku seperti itu di masa mendatang.
5.      Berbagai undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dalam rangka melakukan kegiatan bisnis di Indonesia, saat ini hanya mengatur mengenai aspek hubungan perdata antara pihak yang melakukan transaksi di sektor bisnis yang diatur dengan undang-undang dan tidak memuat ketentuanketentuan pidana di dalamnya. Banyak kewajiban yang dibebankan oleh ketentuan undang-undang tertentu ternyata tidak bersanksi (pidana) apabila kewajiban-kewajiban tersebut dilanggar. Dengan demikian, tujuan yang dicapai dengan adanya pembentukan undang-undang yang bersangkutan menjadi tidak efektif.
6.      Ada kecenderungan pemidanaan terhadap orporasi lebih banyak menggunakan asas “Subsidiaritas”, yakni hukum pidana ditempatkan pada posisi sebagai “Ultimum Remedium”. Namun sebagai upaya Deterrence Effect, untuk pemidanaan terhadap korporasi, dimungkinkan mendudukkan hukum pidana sebagai “Primum Remedium”, karena kejahatan korporasi dapat merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi dan membahayakan kelangsungan hidup suatu bangsa.

الاثنين، 11 نوفمبر 2013

CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS



 Kasus : susu formula yang mengandung bakteri enterobacter sakazakii

Departemen Kesehatan sudah merilis daftar merek susu formula yang bebas dari Enterobacter sakazakii itu. Dan, susu formula si kecil masuk daftar susu yang aman. Pengumuman tadi masih meresahkan masyarakat. Sebagian masyarakat menuntut agar merek-merek susu formula yang tercemar segera diumumkan juga kepada publik.
Seperti diberitakan di banyak media massa, kasus ini bermula ketika para peneliti Institut Pertanian Bogor yang menemukan kontaminasi bakteri susu ini sebesar 22,73 persen dari 22 sampel susu formula yang beredar dari tahun 2003 sampai 2006. Persoalan lebih lanjut, baik pemerintah maupun IPB, tidak mau mengumumkan merek-merek susu yang tercemar.
Ada yang berpendapat bahwa pengumuman merek susu tercemar ini hanya akan memunculkan kekacauan. Sementara, banyak yang menuntut pemerintah segera mengumumkan merek susu tercemar. Pasalnya, ini menyangkut hidup mati dan masa depan anak-anak. Di tengah sikap pemerintah yang masih menunda pengumuman, muncul info hoax di jaringan sosial media yang isinya berisi tentang merek-merek susu tercemar. Info tersebut dibantah oleh BPOM dan Asosiasi Perusahaan Makanan Bayi merasa prihatin dengan info hoax tersebut. Menurut saya, persoalan ini selesai, kalau pemerintah segera mengumumkan merek-merek susu yang tercemar. Mana yang lebih bermartabat, menimbulkan kekacauan yang belum tentu jelas itu atau membunuh bayi-bayi secara pelan-pelan. Negara tahu, tapi tidak mengumumkan, bagi saya adalah sebuah kejahatan.
Dalam dunia marketing, seandainya pemilik merek tahu bahwa susu formulanya tercemar dan tidak menarik produknya, hal sesungguhnya merupakan kejahatan bisnis. Apalagi tahu kalau Enterobacter sakazakii ini berbahaya bagi orang tubuh bayi, seperti pembuluh darah, selaput otak, dan usus. Secara sederhananya, boleh dikatakan berbisnis dan mengeruk keuntungan dengan menabur bahaya kepada para bayi. Secara etika, praktik ini tidak bisa dibenarkan. Adalah benar bila konsumen berteriak menuntut agar pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan transparan soal ini.
Kalau dilihat dari kacamata Marketing dewasa ini, pemasar yang tetap memasarkan produk yang membahayakan pelanggannya melanggar nilai-nilai bisnis, yakni mencintai pelanggan. Sementara, di era sekarang, orang tidak gampang lagi menyembunyikan kebohongan. Ketika produk ketahuan belangnya, pelanggan akan meninggalkannya dengan serangkaian caci maki.

Sumber : Livestockreview.com,Bisnis
                 http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_bisnis

Analisis : Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat. Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Dalam kasus ini sebaiknya sebagai produsen susu harus lebih memperhatiakan kualitas produk, karena pencemaran bakteri enterobacter sakazakii sangat membahayakan bagi kesehatan anak balita yang merupakan komsumen utama. Jika terjadi suatu kasus kesehatan setelah mengkonsumsi susu tersebut hal ini dapat menjadi masalah besar bagi perusahaan susu tersebut. Sebagaiknya sebagai produsen harus lebih cermat dalam memasarkan produk yang akan dijual dan harus memperhatiakan etika dalam berbisnis.
Dan seharusnya WHO terlebih dahulu memberi pesyaratan bebas bakteri E.Sakazakii dalam susu bubuk maupun makanan olahan lainnya. Setelah segala persyaratan dipenuhi , BPOM harus menyatakan semua produk bebas bakteri tersebut. Dan dalam segi iklan harus menjelaskan secara detail mengenai kandungan susu yang ditawarkan serta menjelaskan bahwa susu tersebut bebas bakteri yang dapat membahayakan kesehatan balita sehingga para orang tua tidak ragu dan tidak perlu khawatir untuk membeli produk susu tersebut.