Tugas : Cari jurnal “Hubungan Etika
Bisnis dengan Kejahatan Korporasi”
Judul Jurnal :
Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi
dalam Lingkup Kejahatan Bisnis
Sumber : Elfina Lebrine
S.
Fakultas Hukum, Laboratorium Hukum Pidana, Universitas Surabaya Jl.Raya Kalirungkut, Surabaya E-mail:
els@ubaya.ac.id
ULAS KASUS TENTANG KEJAHATAN KORPORASI
EKONOMI
Pendahuluan
Perkembangan
korporasi pada permulaan jaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang
sifatnya makin kompleks. Inggris sejak abad XIV sudah menjadi pusat perdagangan
wool dan tekstil yang diekspor ke daratan Eropa. Kemajuan ini juga
ditandai dengan didirikannya beberapa usaha dagang bangsa Turki. Pembentukan
beberapa usaha dagang / perusahaan ini merupakan embrio korporasi pada
jaman sekarang. Pertumbuhan korporasi di tanah air semakin meningkat dalam
berbagai usaha. Berbagai produk dan jasa dihasilkan dalam jumlah besar, begitu
pula ribuan dan bahkan jutaan orang terlibat dalam kegiatan korporasi. Dengan
memasarkan produknya, maka korporasi sekaligus mempengaruhi dan ikut menentukan
pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa, sebab dalam
kenyataannya bukan produsen yang harus menyesuaikan permintaan konsumen, akan
tetapi justru sebaliknya konsumen yang akan menyesuaikan kebutuhannya dengan
produk-produk yang dihasilkan oleh korporasi.
Perkembangan
yang pesat dari korporasi dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan
masyarakat, yakni perkembangan masyarakat agraris ke masyarakat industri dan
perdagangan (internasional) pada dasawarsa terakhir ini. Ciri masyarakat
industri adalah dengan munculnya korporasi sebagai pelaku ekonomi atau subyek
hukum. Korporasi dalam perkembangannya dapat memperoleh hak (dan kewajiban)
yang dimiliki oleh manusia, seperti dapat membuat sebuah kontrak, dapat
menuntut dan dituntut, namun korporasi tetap berbeda dengan subyek hukum
manusia yakni pada sifatnya yang tidak memiliki jangka waktu hidup, dalam arti
dia bisa hidup selamalamanya. Indonesia saat ini dilanda kriminalitas
kontemporer yang mengancam lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola
kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan Bank, kejahatan komputer,
penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang
dikemas indah dan dijajakan lewat iklan besar-besaran dan berbagai pola
kejahatan korporasi lainnya. Seiring dengan perkembangan arus globalisasi dan
teknologi informasi dalam era milenium ini, telah mendorong munculnya beberapa
jenis dan istilah kejahatan yang sebetulnya secara substansial bukan “barang
baru”, namun ‘”barang lama” yang telah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi
suatu kejahatan yang lebih modern dan lebih canggih. Modus operandi yang
digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut dahulu tidak dikenal dan tidak
pernah dipikirkan oleh para pelaku kejahatan, namun saat ini menjadi suatu ‘trend’
modus kejahatan. Hal ini ditegaskan pula oleh Sutan Remy Sjahdeini
yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa perkembangan kejahatan tampak
pada penggunaan istilah-istilah baru misalnya: istilah corporate
crime, business crime, economic crime yakni kejahatan ekonomi
atau kejahatan terhadap ekonomi (crime against economy), istilah financial
abuse yang memiliki pengertian sangat luas termasuk bukan saja aktivitas
ilegal yang mungkin merugikan sistem keuangan (financial system), tetapi
juga aktivitas-aktivitas lain yang bertujuan menghindari kewajiban pembayaran
pajak (tax evasion), atau istilah financial crime yang merupakan subset
dari financial abuse yang dalam pengertian sempit dapat diartikan
sebagai non-violent crime yang pada umumnya dapat menyebabkan kerugian
keuangan (financial loss) yang menggunakan atau melalui lembaga
keuangan.
(Romli Atmasasmita,
2003:1-3).
White Collar Crime
Kejahatan
korporasi hampir pasti dilakukan oleh pelaku yang tingkat pendidikannya tinggi
(welleducated) dan memiliki
status ekonomi di level menengah ke atas (high social status), dengan kata lain pelaku kejahatan korporasi
biasanya berasal dari kalangan orang yang berada dan bekerja pada bidangnya (Skill and Experts). Albert Morris mengetengahkan
suatu anggapan yang cukup berpengaruh yakni: “Because of the respectability and high social status of White Collar offenders, some scholars have suggested that much
individuals are not really
criminals at all. They claim that it is
paradoxcial that the leaders of community could also be its criminal. Hal ini lebih
ditegaskan oleh E.H.Sutherland
dalam bukunya White Collar Crime: The Uncut Version yang mengemukakan
bahwa: White Collar Crime may be
defined approximately as a crime commited by a person of respectability and high
social status in the course of his occupation. (Sutherland, 1983:15-17). Oleh sebab itu, kejahatan korporasi terjadi karena canggihnya
peralatan yang digunakan serta
keahlian yang dimiliki oleh pelaku dalam
melakukan aksi kejahatannya, sehingga
kejahatan
semacam ini sering disebut Multi Dimention
Crimes (Kejahatan Berdimensi Baru). C.F.Welford dan B.L.Ingraham mengklasifikasikan
White Collar Crime menjadi 3 kelompok, yakni: (1). Business and Professional Crimes; (2).
Occupational crimes; (3). Individual Fraud. (Welford, 1994).
Adapun Croall
menyatakan ada 8 (delapan) karakteristik dari White Collar Crime, yakni: 1). Low visibility;
2). Complexity; 3). Diffusion of responsibility; 4). The
diffusion of victimization; 5). Difficult
to detect and to prosecute; 6). Lenient
sanctions; 7). Ambiguous laws; 8). Ambiguous criminal status. (Croall, 1992:12-16). Secara khusus butir 4
menggambarkan perbedaan antara korban kejahatan konvensional yang mudah untuk diidentifikasikan,
dibandingkan dengan korban
kejahatan
korporasi yang seringkali bersifat abstrak seperti pemerintah, perusahaan lain
atau konsumen yang jumlahnya banyak namun sulit untuk dideteksi.
Terkait dengan
hal tersebut, menarik untuk disimak pendapat Clinard dan Yeager yang menyatakan
bahwa: ”Victims of corporate crimes…,
are often unaware that they
have been taken. Examples are stakeholders
who receive a falsified balance sheet,
consumers who have paid an inflated price for a product as a result of
antitrust collusion, or consumers who have accepted with confidence the misleading
advertising claims made for a product without knowledge of its financial or
health effects on them.
(Clinard and Yeager, 1980:7).
Atau dalam bahasa indonesianya adalah, Korban
kejahatan korporasi ..., seringkali tidak menyadari bahwa mereka telah diambil.
Contohnya adalah pihak yang menerima neraca palsu, konsumen yang telah membayar
harga yang mahal untuk sebuah produk sebagai hasil dari kolusi antitrust, atau
konsumen yang telah menerima dengan keyakinan klaim iklan yang menyesatkan yang
dibuat untuk produk tanpa pengetahuan tentang dampak keuangan atau kesehatan
pada mereka. (Clinard and Yeager, 1980:7)
Kasus yang melibatkan Melinda Dee (47) membuka tabir
kejahatan kerah putih (white collar crime) dalam dunia perbankan. Model
kejahatan kerah putih ini merupakan evolusi tindak kejahatan dalam dunia
moderen.
Dalam sejarahnya di negara-negara maju, kejahatan ini disebut sebagai business crime atau economic criminality. Hal ini karena pelaku kejahatan ini banyak melibatkan para pengusaha, pegawai perbankan, lembaga keuangan dan para pejabat. Pada awalnya kejahatan kerah putih banyak terjadi dalam birokrasi pemerintahan.
Modusnya adalah dengan memanfaatkan kerumitan dan ketertutupan birokrasi. Kerumitan itulah yang menjadi lahan subur untuk dimanipulasi menjadi tindak kejahatan seperti korupsi dan suap.
Kasus Melinda Dee merupakan modus kejahatan kerah putih yang semakin canggih lagi. Tindakan tersebut dilakukan dalam jaringan teknologi mutakhir. Dengan penerapan sistem komputerisasi, dunia perbankan menjadi lahan subur bagi praktik kejahatan seperti ini. Kejahatan model ini merupakan gejala masyarakat industri.
Penggunaan teknologi dalam masyarakat industri selain semakin efesien, juga memberi efek negatif terutama dengan semakin efesiennya kejahatannya juga. Pada masyarakat yang ter-computerized, pencurian dapat dilakukan hanya dengan memijit tombol-tombol keyboard komputer yang terkoneksi pada jaringan internet. Maka dalam jaringan sistem perbankan, seorang Melinda dapat dengan aman mengalihkan miliaran uang nasabah pada rekeningnya sendiri.
Dalam sejarahnya di negara-negara maju, kejahatan ini disebut sebagai business crime atau economic criminality. Hal ini karena pelaku kejahatan ini banyak melibatkan para pengusaha, pegawai perbankan, lembaga keuangan dan para pejabat. Pada awalnya kejahatan kerah putih banyak terjadi dalam birokrasi pemerintahan.
Modusnya adalah dengan memanfaatkan kerumitan dan ketertutupan birokrasi. Kerumitan itulah yang menjadi lahan subur untuk dimanipulasi menjadi tindak kejahatan seperti korupsi dan suap.
Kasus Melinda Dee merupakan modus kejahatan kerah putih yang semakin canggih lagi. Tindakan tersebut dilakukan dalam jaringan teknologi mutakhir. Dengan penerapan sistem komputerisasi, dunia perbankan menjadi lahan subur bagi praktik kejahatan seperti ini. Kejahatan model ini merupakan gejala masyarakat industri.
Penggunaan teknologi dalam masyarakat industri selain semakin efesien, juga memberi efek negatif terutama dengan semakin efesiennya kejahatannya juga. Pada masyarakat yang ter-computerized, pencurian dapat dilakukan hanya dengan memijit tombol-tombol keyboard komputer yang terkoneksi pada jaringan internet. Maka dalam jaringan sistem perbankan, seorang Melinda dapat dengan aman mengalihkan miliaran uang nasabah pada rekeningnya sendiri.
Kejahatan Bisnis
Pengertian
istilah “kejahatan bisnis” dirumuskan oleh John.E.Conklin sebagai: “Business
crime is an
illegal act,
punishable by a criminal sanction, which is committed by an individual or a
corporation in the course of a legitimate occupation or persuit in the industrial or commercial sector for the
purpose of obtaining money or property, avoiding the payment of money or the
loss of property or personal advantage”. (Conklin,1977:11-13).
Perumusan “kejahatan bisnis” di atas menunjukkan salah satu pola
kejahatan non konvensional yang dewasa ini sangat menonjol karena
menjadi problem hampir di semua negara, terlebih negara yang sedang
membangun yang sangat bergantung pada perkembangan dan pertumbuhan ekonominya
serta berhubungan erat dalam lintas niaga transnasional. Di samping itu,
pengertian “kejahatan bisnis” mengandung pula makna filosofis, yuridis
dan sosiologis. Secara filosofis, kejahatan bisnis mengandung makna
bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat
manakala suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa
sehingga sangat merugikan kepentingan masyarakat luas. Perubahan nilai
tersebut menggambarkan bahwa kalangan pebisnis sudah kurang atau
tidak menghargai lagi kejujuran (honesty) dalam kegiatan bisnis
nasional dan internasional demi untuk mencapai tujuan memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Secara singkat dapat ditarik kesimpulan
bahwa dalam kegiatan bisnis sudah tidak dapat ditemukan ketertiban dan
kepastian hukum dan karenanya tidak mungkin menemukan keadilan bagi
para pelaku
bisnis yang beritikad baik. Konsekuensi logis dari keadaan dan masalah hukum
tersebut ialah diperlukan perangkat hukum lain yaitu hukum pidana untuk membantu
menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta untuk menemukan keadilan bagi
para pelaku bisnis yang beritikad baik dan telah dirugikan. Adapun secara
yuridis, pengertian istilah “kejahatan bisnis” menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua)
sisi mata uang yaitu di satu sisi terdapat aspek hukum perdata, dan di sisi
lain terdapat aspek hukum pidana. Kedua aspek hukum tersebut memiliki dua tujuan
yang berbeda secara diametral dan memiliki sifat atau karakteristik yang
bertentangan satu sama lain. Aspek hukum perdata lebih mementingkan perdamaian
di antara para pihak, sedangkan aspek hukum pidana lebih mementingkan
melindungi kepentingan umum, masyarakat luas bahkan negara. Secara sosiologis,
pengertian “kejahatan bisnis” menunjukkan keadaan yang nyata terjadi dalam aktivitas
di dunia bisnis. Namun di sisi lain menunjukkan pula bahwa kegiatan bisnis
sudah tidak ada lagi ‘keramahan’ (unfriendly business atmosphere) atau
seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat dipercaya di antara pelaku bisnis.kegiatan
bisnis seharusnya berjalan secara sehat sekalipun bersaing secara kompetitif.
Secara substansial, menurut Robintan Sulaiman, kejahatan bisnis mengandung
anasir, yakni:
1.
Sifatnya
korporasi artinya dilakukan secara berkelompok yang masing-masing berperan
dengan keahlian masing-masing membentuk sinergi dan aliansi strategis yang
menjadi suatu kekuatan yang mandiri dan sangat sulit diterobos oleh tangan
hukum. Kejahatan bisnis juga merupakan kejahatan terorganisasi (organized
crimes).
2.
Kejahatan
bisnis dalam melakukan kejahatan menggunakan instrumen atau peralatan canggih seperti
komputer, satelit dan lain-lain sehingga dapat terjadi setiap saat, kapan saja
dan dimana saja.
3.
Kejahatan
bisnis Multi Dimensi ini berdampak pada tidak saja para orang atau badan
hukum yang dirugikan tetapi juga
merugikan masyarakat bahkan negara. Masih menurut Robintan Sulaiman,
faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan bisnis meliputi 3 (tiga) hal,
yakni: 1). Kejahatan bisnis memang sudah dirancang saat bisnis tersebut dibuat,
dan itu berarti ada kebutuhan (need) untuk itu; 2). Kejahatan bisnis ini timbul
karena adanya perkembangan bisnis yang cepat berkembang dan menimbulkan
kesempatan (opportunity) bagi pelaku. Jadi pada saat bisnis ini atau
dimulai tidak ada rencana untukmelakukan kegiatan bisnis; 3). Kejahatan bisnis
yang dilakukan oleh orang-orang di luar pelaku bisnis yang menguasai teknologi
dan dapat memanfaatkan teknologi untuk melakukan kejahatan. Ketiga hal ini semuanya
bermotif ekonomi/komersial (profit oriented) serta desakan
kebutuhan untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat adalah
motif yang utama dalam kejahatan bisnis. (Robintan Sulaiman, 2001:8-12). Motif
inipun dimiliki oleh korporasi yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan agar invest yang telah ditanamkan tidak mengalami kerugian (hal ini dikenal
dalam “Anomie Theory”).
KESIMPULAN
Dari hasil
analisa didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1.
Sektor
korporasi yang mampu berperan positif bagi pembangunan nasional adalah sektor
korporasi yang merupakan aset nasional dan bukan korporasi yang hanya menjadi
beban dan parasit masyarakat. Kelompok sektor korporasi ini adalah kelompok
yang patuh etika bisnis, misalnya patuh pada tata kelola korporasi yang baik,
taat pada aturan main persaingan bisnis yang sehat, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, peran positif terhadap
pembangunan nasional ini menunjuk pada korporasi yang mampu mempraktekkan
prinsip etika bisnis dan juga prinsip good corporate governance dalam
menjalankan kegiatan bisnisnya.
2.
Perusahaan
yang ingin mencatat sukses dalam bisnis membutuhkan 3 (tiga) hal pokok,
yakni: produk yang baik dan bermutu,
manajemen yang mulus dan etika. Produk yang baik serta manajemen yang mulus
merupakan hal yang dapat dicapai dengan memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan
teknologi modern, serta memakai ilmu ekonomi dan teori manajemen, sedangkan
perhatian terhadap etika dalam bebrbisnis masih sangat minim atau dapat
dikatakan tidak mendapatkan perhatian yang serius.
3.
Pembaharuan
hukum dapat menciptakan insentif atau dorongan bagi publik untuk ikut
memperhatikan perilaku korporasi. Dalam hal ini, masyarakat sebagai stakeholder
dari korporasi dapat pula menjadi sarana pengawasan terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi.
4.
Bagi
para pelaku White Collar Crime, penghukuman atau penuntutan secara
pidana dan penahanan dapat menimbulkan suatu celaan atau kutukan sosial. Hilangnya
reputasi mungkin lebih penting bagi para pelaku daripada hilang uang karena
dijatuhi denda besar, oleh sebab itu publisitas luas yang memuat nama-nama
individu yang dihukum karena kejahatan bisnis dapat merupakan penjeraan yang
efektif bagi perilaku seperti itu di masa mendatang.
5.
Berbagai
undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dalam rangka
melakukan kegiatan bisnis di Indonesia, saat ini hanya mengatur mengenai aspek
hubungan perdata antara pihak yang melakukan transaksi di sektor bisnis yang
diatur dengan undang-undang dan tidak memuat ketentuanketentuan pidana di
dalamnya. Banyak kewajiban yang dibebankan oleh ketentuan undang-undang
tertentu ternyata tidak bersanksi (pidana) apabila kewajiban-kewajiban tersebut
dilanggar. Dengan demikian, tujuan yang dicapai dengan adanya pembentukan
undang-undang yang bersangkutan menjadi tidak efektif.
6.
Ada
kecenderungan pemidanaan terhadap orporasi lebih banyak menggunakan asas
“Subsidiaritas”, yakni hukum pidana ditempatkan pada posisi sebagai “Ultimum
Remedium”. Namun sebagai upaya Deterrence Effect, untuk pemidanaan
terhadap korporasi, dimungkinkan mendudukkan hukum pidana sebagai “Primum
Remedium”, karena kejahatan korporasi dapat merusak sendi-sendi kehidupan
ekonomi dan membahayakan kelangsungan hidup suatu bangsa.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق